JERITAN BATIN NDUGA, KORBAN OPERASI MILITER DI PAPUA
“Refleksi
Korban Operasi Militer Nduga, antara Luka dan Trauma”
(Oleh
: Albert Yatipai)
Foto : Warga Pengungsi Nduga/Kredit CNNIINDONESIA.COM
Kehadiran
TNI/POLRI di Kabupaten Nduga membuat warga sipil ketakutan, ketika mengingat
kembali kebrutalan yang dilakukan tahun 1996 saat “Operasi Mapenduma” di wilayah
Nduga yang kita kenal saat ini. Terutama ibu-ibu dan anak-anak, mereka
mengalami trauma (gangguan
psikologis) yang panjang setelah melewati kebrutalan TNI/POLRI saat operasi
itu.
Kabupaten
Nduga terletak di sekitar taman Nasional Lorents, ibukotanya adalah Keneyam (lalunya
mapenduma), tepatnya sekitar 250 kilo meter dari selatan Kota Wamena. Bersamaan
dengan lima wilayah lainnya, Nduga baru dimekarkan dan diresmikan sebagai Kabupaten
otonom pada tahun 2008 oleh Kementrian Dalam Negeri Republic Indonesia.
Operasi Militer Membuat Masyarakat
Trauma
Dalam
sejarah bangsa ini, kekerasan militer telah banyak meninggalkan catatan hitam
dan luka batin yang sangat mendalam bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan Papua
pada khususnya. Operasi militer telah mengakibatkan trauma dan gangguan psikis
yang berat dan panjang akibat kebrutalan militer terhadap warga masyarakat
nusantara, khususnya Papua.
Status
Daerah Operasi Militer (DOM) pernah di berlakukan di hampir seluruh Papua sepanjang
tahun 1961 sampai dengan tahun 1998, dicatat KOMNAS HAM sebanyak 44 (empat
puluh empat) operasi militer telah dilancarkan. Sekitar 800.000-an jiwa Orang
Papua hilang dan menjadi korban kekerasan Aparat Militer Indonesia. Sebagian
masyarakat yang selamat, melarikan diri ke hutan belantara hingga sampai ke Wilayah
Papua New Guinea (PNG).
Tahun
1996, “Operasi Mapenduma” di luncurkan untuk misi penyelamatan 26 orang
Peneliti Tim Expedisi Lorents 96 yang saat itu disandera oleh rombongan Tpn/Opm
Pimpinan Jederal Kelly Kwalik. Operasi militer kemudian dilakukan selama empat
hari di Mapenduma (sekarang nduga).
Hari-hari
itu menjadi sejarah berdarah dan “horor” yang sulit dilupakan oleh masyarakat
Nduga. Penyisiran dan pembantaian manusia terjadi disana-sini. Masyarakat
menjadi korban habis-habisan, kampung-kampung mereka hancur lebur.
Kenangan
pahit, duka dan penderitaan masyarakat Nduga ini, menjadi pesta keberhasilan
bagi Negara Indonesia dan Aparat
Militernya saat itu. Publik dihebohkan dengan keberhasilan “Operasi Mapenduma” tersebut,
militer menjadi topik utama dalam pemberitaan utama di berbagai media.
Air
mata darah dan penderitaan tinggal menemani masyarakat Mapenduma (Nduga),
trauma berat atas kekerasan militer menjadi beban kehidupan yang terus datang
sebagai mimpi buruk di hari-hari hidup masyarakat.
Jalan Trans Papua Kembalikan Luka Batin
Belum
lama ini, publik dihebohkan dengan pemberitaan tentang penembakan terhadap 19
orang Pekerja Proyek Jalan Trans Papua (Wamena-Nduga-Mumugi) PT. Istaka Karya.
Peristiwa penembakan ini terjadi pada tanggal 1 dan 2 Desember 2018 di Distrik
Yigi, Kabupaten Nduga. Penembakan dilakukan oleh Kelompok OTK (Orang Terlatih
Khusus) yang diduga Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka
(TPN/OPM) Pimpinan Egianus Kogeya.
Memori
luka batin kembali melintasi wajah masyarakat Nduga setelah Presiden Joko
Widodo memerintahkan Militer untuk mengambil alih Proyek Jalan Trans Papua dan
melakukan pengejaran terhadap rombongan TPN/OPM yang melakukan penembakan 19 Pekerja
Jalan Trans Papua tersebut.
Kali
ini, sekitar 8000-an warga sipil masyarakat Nduga kembali menjadi korban
kekerasan dalam kontak senjata antara TPN/OPM dengan TNI/POLRI. Tanggal 4 Desember,
4 (empat) orang masyarakat sipil ditembak mati oleh TNI/POLRI, ribuan masyarakat
lainnya panik dan terpaksa melarikan diri melalui hutan belantara untuk mengungsi
ke beberapa daerah terdekat yakni, Wamena, Lani Jaya, Yahukimo, Asmat, dan
Boven Digul dan lainnya.
Sebagian
masyarakat memilih untuk bersembunyi di hutan belantara karena takut kepada Militer.
Proses pengiriman militer pun terus ditingkatkan oleh Negara, walaupun jumlah
pengungsi terus bertambah, namun tidak ada satupun pihak yang dengan serius
menyoroti hal yang sedang terjadi tersebut oleh Pemerintah maupun Non
Pemerintah/Swasta Lainnya, kecuali Gereja dan para aktivis kemanusiaan.
Nasib Warga Pengungsi
Masyarakat
Nduga harus pergi dan meninggalkan kampung halaman mereka. Setelah timah panas
dan bom sulfur menghancurkan rumah, kebun, ternak dan hutan tempat
keberlangsungan hidup mereka. Meski tidak tegah untuk pergi dan disebut
pengungsi, perang telah memaksa mereka untuk harus pergi menembus hutan
belantara demi menyelamatkan diri ke tempat-tempat yang aman bagi mereka.
Nasib
di tempat pengungsian juga sangat ironis, syukurlah bagi para pengungsi yang
mempunyai keluarga ataupun kerabat dekat, mereka mendapat tempat untuk hidup sedikit
baik. Di wamena, 2000-an pengungsi berada di tenda pengungsian di halaman Gereja
Kingmi Jemaat Weneroma, Sinakma. 700-an pengungsi sampai di Lani Jaya dan diterima
langsung oleh Pemerintah Daerah setempat, mereka diberi tempat disana.
Kondisi
kesehatan warga pengungsi sangat memprihatikan, luka bakar dan luka tembakan membuat
mereka menderita. Selain itu, kekurangan makanan juga menjadi persoalan serius
bagi mereka. Mereka hanya mengandalkan bantuan dari para relawan kemanusiaan
yang peduli.
Namun,
Bagaimana dengan mereka yang masih di hutan belantara ?, bagaimana nasib mereka
?. Para pengungsi selama di hutan dikabarkan bertahan hidup hanya dengan
memakan sayur pakis. Ada juga diantara mereka, ibu hamil yang sempat melahirkan
di hutan belantara.
Mereka
semua adalah kebanyakan anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga yang menjadi
pengungsi.
Kesimpulan dan Saran
Dari
uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa dalam menangani berbagai persoalan
yang terjadi di wilayah Nduga, pemerintah lebih cenderung menggunakan
pendekatan militer daripada pendekatan kemanusiaan dan lainnya. sehingga
berdampak pada kekerasan dan kebrutalan terhadap warga masyarakat yang tidak
bersalah.
Akibatnya,
TNI/POLRI yang diidamkan sebagai pengayom rakyat berubah menjadi seperti
penjahat yang ditakuti dan dimusuhi oleh rakyat. Kehadiran militer sebagai keamanan
kemudia dijauhi oleh masyarakat akibat luka batin dan trauma kekerasan panjang.
Pada
saat konflik sedang berlangsung, Pemerintah setempat juga hanya tertidur diam
diatas milyaran rupiah, ikut juga tunduk kepada Militer. Sedang biarkan Gereja
dan para Aktivis Kemanusiaan sendiri yang membentuk solidaritas kemanusiaan untuk
membantu ribuan pengungsi Nduga. Dimana nurani kalian…?, Sayannngggg eww….!, Rakyak
Nduga milik siapa…?.
Sebaiknya, Negara dan Pemerintah
harus bertanggungjawab dan membayar mahal luka batin dan trauma rakyat Nduga sebagai
warganya. Bukan bagi-bagi uang semata, namun sesuatu yang lebih besar demi
mengobati luka batin, trauma kekerasan, jeritan, duka dan penderitaan rakyat
ndugasaat ini.
Penulis
Adalah Mahasiswa Aktif Universitas Sains Dan Teknologi Jayapura
Referensi :
KKPK,
Artikel, (2008), “Laporan Operasi Militer
Papua”, Elsham Papua
Itlay,
Soleman, (2019), “Operasi Militer
Menimbulkan Krisis Kesehatan Dan Pendidikan Di Nduga”, Laporan Tim Relawan
Kemanusiaan Untuk Nduga.