Cari Blog Ini

Sabtu, 04 Mei 2019

JERITAN BATIN NDUGA, KORBAN OPERASI MILITER DI PAPUA


JERITAN BATIN NDUGA, KORBAN OPERASI MILITER DI PAPUA

“Refleksi Korban Operasi Militer Nduga, antara Luka dan Trauma”

(Oleh : Albert Yatipai)



Foto : Warga Pengungsi Nduga/Kredit CNNIINDONESIA.COM


Kehadiran TNI/POLRI di Kabupaten Nduga membuat warga sipil ketakutan, ketika mengingat kembali kebrutalan yang dilakukan tahun 1996 saat “Operasi Mapenduma” di wilayah Nduga yang kita kenal saat ini. Terutama ibu-ibu dan anak-anak, mereka mengalami trauma (gangguan psikologis) yang panjang setelah melewati kebrutalan TNI/POLRI saat operasi itu.

Kabupaten Nduga terletak di sekitar taman Nasional Lorents, ibukotanya adalah Keneyam (lalunya mapenduma), tepatnya sekitar 250 kilo meter dari selatan Kota Wamena. Bersamaan dengan lima wilayah lainnya, Nduga baru dimekarkan dan diresmikan sebagai Kabupaten otonom pada tahun 2008 oleh Kementrian Dalam Negeri Republic Indonesia.


Operasi Militer Membuat Masyarakat Trauma
Dalam sejarah bangsa ini, kekerasan militer telah banyak meninggalkan catatan hitam dan luka batin yang sangat mendalam bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya. Operasi militer telah mengakibatkan trauma dan gangguan psikis yang berat dan panjang akibat kebrutalan militer terhadap warga masyarakat nusantara, khususnya Papua.

      Status Daerah Operasi Militer (DOM) pernah di berlakukan di hampir seluruh Papua sepanjang tahun 1961 sampai dengan tahun 1998, dicatat KOMNAS HAM sebanyak 44 (empat puluh empat) operasi militer telah dilancarkan. Sekitar 800.000-an jiwa Orang Papua hilang dan menjadi korban kekerasan Aparat Militer Indonesia. Sebagian masyarakat yang selamat, melarikan diri ke hutan belantara hingga sampai ke Wilayah Papua New Guinea (PNG). 

Tahun 1996, “Operasi Mapenduma” di luncurkan untuk misi penyelamatan 26 orang Peneliti Tim Expedisi Lorents 96 yang saat itu disandera oleh rombongan Tpn/Opm Pimpinan Jederal Kelly Kwalik. Operasi militer kemudian dilakukan selama empat hari di Mapenduma (sekarang nduga). 

Hari-hari itu menjadi sejarah berdarah dan “horor” yang sulit dilupakan oleh masyarakat Nduga. Penyisiran dan pembantaian manusia terjadi disana-sini. Masyarakat menjadi korban habis-habisan, kampung-kampung mereka hancur lebur.

      Kenangan pahit, duka dan penderitaan masyarakat Nduga ini, menjadi pesta keberhasilan bagi  Negara Indonesia dan Aparat Militernya saat itu. Publik dihebohkan dengan keberhasilan “Operasi Mapenduma” tersebut, militer menjadi topik utama dalam pemberitaan utama di berbagai media. 

Air mata darah dan penderitaan tinggal menemani masyarakat Mapenduma (Nduga), trauma berat atas kekerasan militer menjadi beban kehidupan yang terus datang sebagai mimpi buruk di hari-hari hidup masyarakat.      


Jalan Trans Papua Kembalikan Luka Batin
Belum lama ini, publik dihebohkan dengan pemberitaan tentang penembakan terhadap 19 orang Pekerja Proyek Jalan Trans Papua (Wamena-Nduga-Mumugi) PT. Istaka Karya. Peristiwa penembakan ini terjadi pada tanggal 1 dan 2 Desember 2018 di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga. Penembakan dilakukan oleh Kelompok OTK (Orang Terlatih Khusus) yang diduga Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) Pimpinan Egianus Kogeya.

Memori luka batin kembali melintasi wajah masyarakat Nduga setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan Militer untuk mengambil alih Proyek Jalan Trans Papua dan melakukan pengejaran terhadap rombongan TPN/OPM yang melakukan penembakan 19 Pekerja Jalan Trans Papua tersebut. 

Kali ini, sekitar 8000-an warga sipil masyarakat Nduga kembali menjadi korban kekerasan dalam kontak senjata antara TPN/OPM dengan TNI/POLRI. Tanggal 4 Desember, 4 (empat) orang masyarakat sipil ditembak mati oleh TNI/POLRI, ribuan masyarakat lainnya panik dan terpaksa melarikan diri melalui hutan belantara untuk mengungsi ke beberapa daerah terdekat yakni, Wamena, Lani Jaya, Yahukimo, Asmat, dan Boven Digul dan lainnya. 

Sebagian masyarakat memilih untuk bersembunyi di hutan belantara karena takut kepada Militer. Proses pengiriman militer pun terus ditingkatkan oleh Negara, walaupun jumlah pengungsi terus bertambah, namun tidak ada satupun pihak yang dengan serius menyoroti hal yang sedang terjadi tersebut oleh Pemerintah maupun Non Pemerintah/Swasta Lainnya, kecuali Gereja dan para aktivis kemanusiaan.    


Nasib Warga Pengungsi
Masyarakat Nduga harus pergi dan meninggalkan kampung halaman mereka. Setelah timah panas dan bom sulfur menghancurkan rumah, kebun, ternak dan hutan tempat keberlangsungan hidup mereka. Meski tidak tegah untuk pergi dan disebut pengungsi, perang telah memaksa mereka untuk harus pergi menembus hutan belantara demi menyelamatkan diri ke tempat-tempat yang aman bagi mereka.

Nasib di tempat pengungsian juga sangat ironis, syukurlah bagi para pengungsi yang mempunyai keluarga ataupun kerabat dekat, mereka mendapat tempat untuk hidup sedikit baik. Di wamena, 2000-an pengungsi berada di tenda pengungsian di halaman Gereja Kingmi Jemaat Weneroma, Sinakma. 700-an pengungsi sampai di Lani Jaya dan diterima langsung oleh Pemerintah Daerah setempat, mereka diberi tempat disana.

Kondisi kesehatan warga pengungsi sangat memprihatikan, luka bakar dan luka tembakan membuat mereka menderita. Selain itu, kekurangan makanan juga menjadi persoalan serius bagi mereka. Mereka hanya mengandalkan bantuan dari para relawan kemanusiaan yang peduli. 

Namun, Bagaimana dengan mereka yang masih di hutan belantara ?, bagaimana nasib mereka ?. Para pengungsi selama di hutan dikabarkan bertahan hidup hanya dengan memakan sayur pakis. Ada juga diantara mereka, ibu hamil yang sempat melahirkan di hutan belantara.

Mereka semua adalah kebanyakan anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga yang menjadi pengungsi. 

   
Kesimpulan dan Saran
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa dalam menangani berbagai persoalan yang terjadi di wilayah Nduga, pemerintah lebih cenderung menggunakan pendekatan militer daripada pendekatan kemanusiaan dan lainnya. sehingga berdampak pada kekerasan dan kebrutalan terhadap warga masyarakat yang tidak bersalah. 

Akibatnya, TNI/POLRI yang diidamkan sebagai pengayom rakyat berubah menjadi seperti penjahat yang ditakuti dan dimusuhi oleh rakyat. Kehadiran militer sebagai keamanan kemudia dijauhi oleh masyarakat akibat luka batin dan trauma kekerasan panjang.

Pada saat konflik sedang berlangsung, Pemerintah setempat juga hanya tertidur diam diatas milyaran rupiah, ikut juga tunduk kepada Militer. Sedang biarkan Gereja dan para Aktivis Kemanusiaan sendiri yang membentuk solidaritas kemanusiaan untuk membantu ribuan pengungsi Nduga. Dimana nurani kalian…?, Sayannngggg eww….!, Rakyak Nduga milik siapa…?.

Sebaiknya, Negara dan Pemerintah harus bertanggungjawab dan membayar mahal luka batin dan trauma rakyat Nduga sebagai warganya. Bukan bagi-bagi uang semata, namun sesuatu yang lebih besar demi mengobati luka batin, trauma kekerasan, jeritan, duka dan penderitaan rakyat ndugasaat ini.


Penulis Adalah Mahasiswa Aktif Universitas Sains Dan Teknologi Jayapura





 
Referensi :
KKPK, Artikel, (2008), “Laporan Operasi Militer Papua”, Elsham Papua
Itlay, Soleman, (2019), “Operasi Militer Menimbulkan Krisis Kesehatan Dan Pendidikan Di Nduga”, Laporan Tim Relawan Kemanusiaan Untuk Nduga.







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar