(Tentang
Kosmologi Manusia Papua Dalam Suku Sentani)
Oleh
: Albert Yatipai
Gambar doc. Pribadi : kerusakan banjir sentani
Sebagai
sesama manusia Ciptaan Tuhan, penulis sampaikan turut berduka cita dan berbelangsukawa
atas tragedi banjir bandang yang menimpah sebagian wilayah sentani, kabupaten
jayapura pada 17 maret 2019, sehingga mengakibatkan kerusakan lahan pemukiman
warga, tempat-tempat umum,kebun, ternak bahkan korban nyawa manusia yang
mencapai ratusan jiwa. Rasa belangsukawa dan kemanusiaan yang sama telah
mengetuk pintu hati banyak orang, sehingga bantuan terus mengalir dari semua, baik
itu lembaga pemerintah dan swasta maupun individu-individu yang tergerak hati
untuk mengulurkan tangan kasih.
Belakangan
ini, menjadi topik hangat di berbagai kalangan maupun media dan sudah menjadi konsumsi
publik,bahwa Banjir bandang sentani terjadi akibat hujan deras selama kurang
lebih enam jam (17.00 – 01.00) pada 16 maret 2019 di sentani jayapura. Beberapa
warga korban yang selamat mengaku, hujan itu merupakan hujan yang biasa-biasa
saja seperti hari-hari lainnya, tetapi mengagetkan dan mengherankan karena
telah mengakibatkan kerusakan dan banyak korban hingga banyak rumah berserta
isinya yang hanyut terbawa arus air deras yang datang secara tiba-tiba. Mereka
(warga) tak menyangka kalau akhirnya hujan dan kemudian banjir itu bisa membawa
malapetaka seperti yang sedang dihadapi. Sebagian warga (korban) juga bersaksi bahwa,
sebelum hujan dan banjir terjadi, air bersih (PDAM) dalam beberapa hari sebelumnya
tidak berjalan sama sekali sehingga mereka membeli air di tempat lain untuk
dipakai.
Sehingga
dengan melihat hal ini sebagai fenomena, menjadi sangat penting untuk kita
bahas kemudian refeksikan lebih kedalam lagi, bahwa pasti ada jawaban yang
tidak dapat kita jelaskan dengan kata-kata saja. Maka judul tulisan ini saya
angkat tentang “misteri di balik tragedi banjir di sentani” agar dapat membantu
kita tentang apa sebenarnya penyebab banjir bandang tersebut, karena ini
merupakan tragedi di luar kewajaran yang ada.
Hal
ini kemudian menghantarkan kita kepada pertanyaan-pertanyaan kritis seperti,
apakah benar banjir bandang sentani akibat hujan deras semalaman itu ?, padahal
hujan seperti itu sudah biasa bagi warga di sentani. Ataukah mungkin alam marah
akibat aktifitas manusia di sekitar gunung cyclop ?, padahal masyarakat sudah
hidup lama di sekitar kaki gunung cyclop, mengapa banjir baru terjadi sekarang
?, bagaimana dengan masyarakat adat sentani ?. Nah, untuk lebih membawah kita
kepada keterangan yang lebih lanjut terkait pertanyaan-pertanyaan diatas, mari
kita simak beberapa ulasan berikut.
Gunung
Cyclop Bagi Masyarakat Sentani
Masyarakat
sentani sendiri terbagi menjadi dua kelompok manusia yaitu kelompok ondoafi dan kelompok ondofolo. Mereka adalah orang asli yang
tinggal menempati sepanjang kaki gunung (cyclop) hingga ke pinggiran danau
sentani. Dalam perkembangan kehidupannya, Kelompok ondoafi bertahan menetap untuk bermukim di sepanjang pinggiran
danau sentani, namun berbedah dengan Kelompok ondofolo, mereka memilih pergi dan melakukan exodus (perpindahan
besar) akibat pola kehidupan mereka yang sudah dianggap terkutuk di tempat itu,
maka dalam perjalanan itu mereka terbagi dan tersebar ke timur, barat selatan
dan sampai ke utara daerah sentani.
Menariknya,
dia yang menuju ke utara ialah seorang gadis yang bernama “Robhong”. Ia pergi
sendirian sampai ke sebelah utara sentani dan bertemu dengan seorang laki-laki
yang bernama “Haelufoi”. Kemudian keduanya (Robhong dan Haelufoi) kawin dan menghilang hingga tidak diketahui
lagi keberadaannya.
berdasarkan kisah itu, Gunung Dobonsolo (cyclop sekarang) disebut
sebagai wujud dari mereka berdua. Sehingga, untuk mengenal wujud keduanya dalam
bentuk fisiknya, Puncak Gunung Dobonsolo atau Cyclop bagian timur adalah
Haelufoi (laki-laki/suaminya), dan Puncak
Gunung Dobonsolo atau Cyclop bagian barat adalah Robhong (perempuan/istrinya).
Selanjutnya, masyarakat Suku Sentani menyebut Gunung Dobonsolo
atau Cyclop dengan sebutan “Holo” (bahasa daerah sentani) dan disesuaikan dengan nama dari wujud fisik
perempuan itu; “Robhong Holo” yang kemudian mengalami perkembangan dalam
pengucapannya sehingga menjadi “Dobonsolo”, sehingga saat itu secara umum
gunung (cyclop) disebut “Dobonsolo” oleh masyarakat suku sentani.
Hingga memasuki zaman pendudukan Belanda
di Papua, gunung dobonsolo oleh orang belanda disebut dengan istilah “Cycloop”
yang dalam bahasa belanda “Cycoon Op” (“Cycoon “ yang
berarti “awan kecil yang terpecah-pecah” dan “Op” yang berarti “puncak”), Jadi kata “Cycoon Op” berarti
awan-awan kecil yang berada di bawah atau di atas puncak gunung itu. Istilah itu di sebutkan oleh Orang
Belanda karena melihat indahnya Gunung Dobonsolo yang tinggi menjulang sehingga
setiap saat ditutupi oleh kabut awan yang penuh misteri. Akhirnya hingga saat
ini, Gunung Dobonsolo telah mengalami perubahan pengucapannya sehingga sekarang
kita semua mengenalnya dengan sebutan Cyclop/Siklop. Jadi, artinya sama saja
jika kita menyebut nama Gunung Cyclop, Siklop atau Dobonsolo (pembahasan
selanjutnya penulis memakai istilah cyclop).
Sang Penguasa Air Dan Pengendali
Alam di Sentani
Dalam sejarah Suku Sentani, ada
istilah “kinggaei siklop”. Kinggaei (bahasa
daerah Suku Sentani) merupakan sebutan terhadap sebuah alat yang fungsi alat itu
untuk mengeluarkan air pada perahunya Orang Sentani saat mencari ikan di Danau
Sentani apabila kemasukan air akibat ombak. Darisitulah kemudian Istilah “kinggaei siklop” di sebutkan kepada
sebuah batu di puncak Gunung Cyclop yang berfungsi untuk menahan, menampung dan
mengalirkan air dari Gunung Siklop hingga mengalir melalui sungai-sungai di
pinggiran perkampungan dan sampai ke Danau Sentani. Karena letaknya di puncak
Gunung Cyclop, “kinggaei siklop” sering
menurunkan percikan air dalam butiran-butiran kecil turun membasahi perkampungan
dibawah kakinya, seakan kumpulan salju yang turun di sepanjang sentani.
Orang Suku
Sentani mempercayai ”kinggaei” adalah
tuan tanah atau semacam penunggu (penguasa) di Gunung Cyclop. Sehingga dialah
yang bekerja sepanjang siang dan malam memberikan air kepada seluruh Orang
Sentani, menyuburkan semua tanah dan semua tumbuh-tumbuhan di wilayah Sentani. Sehingga
hidup terasa tenang, nyaman dan santai.
Selain itu lebih
uniknya lagi, Suku Sentani mempunyai suatu kekuatan Gaib mereka sebut ”phulo” . Biasanya ”phulo” digunakan sebagai alat penaklukan dan pengendali alam, seperti
untuk memerintah air, api, hewan dan kontak langsung dengan roh-roh halus
lainnya agar melaksanakan perintah tuannya. intinya memerintah atau meminta bantuan
kepada air, api, hewan, roh halus dll. untuk melaksanakan kehendaknya.
Banjir Bandang
Pernah Terjadi Sebelumnya
Pada zaman Perang Dunia II, Suku
Sentani pernah menggunakan Kekuatan Gaib (phulo), memerintah Sang Penguasa Air
Gunung Cyclop (kinggaei siklop) untuk menghancurkan Perkemahan Militer Milik
Tentara Jepang yang saat itu bermukim di bawah kaki Gunung Cyclop (sekarang Komplex
Battalion TNI Yonif 751 Sentani), Sehingga saat itu terjadi banjir bandang
besar yang menghancurkan seluruh Kamp milik para Tentara Jepang. Hal itu,
terjadi akibat perlakuan Tentara Jepang yang dinilai tidak bersahabat dengan
Alam maupun Manusia Suku Sentani, sehingga kehadiran mereka (Jepang) tidak
ditrima dan disukai oleh masyarakat Suku Sentani.
Pernah juga, Banjir bandang yang
sama kembali terjadi pada tahun 2007 silam, banjir ini kembali menghancurkan
kamp battalion tni yonif 751 sentani (bekas kamp jepang yang dijelaskan
diatas). beberapa perumahan dan ruko di sepanjang jalan utama kabupaten sentani
juga ikut hancur dan terendam. Bahkan, hebohnya kejadian ini telah menelan
korban sebanyak 70-an jiwa manusia sehingga sebagian wilayah sentani hancur dan
rusak parah.
Kembali lagi belum lama ini, tepatnya pada 17 maret 2019.
Wilayah sentani kabupaten jayapura itu direndam dan dihancurkan lagi oleh
banjir bandang yang sama kekuatannya. Heboh dan aneh… sebuah kenyataan yang
harus kita terima dengan penuh ketabahan hati. Jika dicermati, Trageni ini
merupakan banjir bandang yang ke tiga kalinya dalam sejarah kehidupan suku
sentani. Karena volume kekuatan air dan kehancuran yang disebabkan dari beberapa
kali banjir ini, menunjukkan kemiripan yang jauh berbedah.
Hal ini perlu kita dalami bahwa
tragedy ini mengajak sekaligus mengajarkan kita untuk kembali sadar dan
mengakui semua yang sudah kita lakukan dalam peziarahan hidup ini. “Kinggaei Cyclop” (penguasa air gunung cyclop)
yang di percayai oleh Suku Sentani, kini sebagian badannya telah mengalami
patah dan hancur akibat ulah manusia, baik itu manusia-manusia dalam suku
sentani sendiri maupun para pendatang (suku lain) yang tinggal di wilayah
sentani. Aktifitas penebangan pohon secara liar, penggarapan hutan kemudian
sampai pada penanaman (pengibaran) benderah Merah Putih di puncak Gunung Cyclop
dan sebagainya merupakan pemicuh rusaknya sebagian badan Sang “Kinggaei Cycop” tersebut.
Disisilain, Penyebab rusaknya “Kinggaei Cyclop” ialah juga dapat
dilihat dari penyalahgunaan “phulo”
(kekuatan gaib) oleh Suku Sentani sendiri dengan alasan yang tidak jelas untuk
kepentingan tertentu sehingga sangatlah ironis ketika kita bayangkan kisah ini. Setiap manusia ketika ditempatkan di suatu tempat
pasti mempunyai relasi dengan alam di sekitarnya, sehingga ia mampu menguasai
dan mengendalikan wilayah tersebut. Tetapi jika kita tidak lagi menjaga semua
itu maka alam juga akan marah dan membuat malapetaka bagi kita.
“Kosmologi
Manusia Papua, Menyatu Dalam Jiwa Dan Raga” (Christ Dogopia)
Penulis Adalah Mahasiswa Di
Universitas Sains Dan Teknologi Jayapura
(Tentang Cerita Sejarah Suku Sentani, Gunung
Dobonsolo/Ciclop, Istilah ”Kinggaei”
Dan Istilah ”Phulo” dalam ulasan diatas Diangkat Menurut Suku/Marga
Kopeuw, Puhili, Pallo, Wally, dan Suebu)
Referensi :